close

Rektor UI Kukuhkan Empat Guru Besar Fakultas Kedokteran

Setelah kemarin pagi Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, S. E., M. A., PhD. mengukuhkan empat Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), siangnya dikukuhkan lagi empat guru besar dalam Sidang Terbuka Pengukuhan Guru Besar dari fakultas yang sama, bertempat di Kampus UI Salemba (Sabtu, 13/2).

Keempat profesor FK UI tersebut adalah Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH sebagai Guru Besar Tetap FK UI dengan kepakaran bidang ilmu kesehatan anak, Prof. Dr. dr. Widjajalaksmi Kusumaningsih, Sp.KFR(K), M.Sc sebagai guru besar tetap bidang ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi, Prof. Dr. dr. Toar Jean Maurice Lalisang, Sp.B(K)BD sebagai guru besar tetap bidang ilmu bedah, dan Prof. dr. Ratnawati, MCH, SpP(K), Ph.D sebagai guru besar bidang pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi.

Prof. Aryono menjadi guru besar ke-5 FK UI dalam bidang ilmu kesehatan anak yang diangkat pada tahun 2021 dan merupakan guru besar ke-236 dari UI. Aryono membacakan pidato berjudul “Obesitas pada Anak: Tinjauan Determinan Filosofis Penyakit dan Masa Depan Generasi Penerus”. Pada tahun 2020, katanya, di Indonesia obesitas telah dikenal sebagai epidemi global dan diperkirakan sekitar 158 juta anak-remaja (usia 5?19 tahun) mengalami obesitas.

Sebagian pakar berpendapat obesitas bukan merupakan penyakit, sedangkan yang lain berpendapat itu merupakan penyakit kronis. Jika obesitas ditetapkan sebagai penyakit, maka akan memberikan keuntungan karena memaksimalkan sumber daya medis untuk menangani obesitas. Jika bukan merupakan penyakit, maka masyarakat berkewajiban membayar secara mandiri jasa pelayanan anti-obesitas seperti konseling dan penurunan berat badan.

Bila mengakui obesitas sebagai penyakit, maka memungkinkan penanganannya melalui upaya preventif, kuratif, dan pendanaan. Komplikasi obesitas dewasa juga terjadi pada usia anak dan remaja. Ia mengganggu tumbuh kembang anak, mengurangi kualitas generasi penerus, dan angka mortalitas usia dini.

“Perlu dilakukan upaya pencegahan sejak dini dimulai dari masa perinatal (masa kehamilan) masa bayi, masa anak dan remaja. Hal ini dilakukan melalui program pencegahan obesitas pada ibu hamil dan menyusui, pemberian makanan gizi seimbang pada usia anak dan remaja, program aktivitas fisis yang sehat dan aktifitas screen time,” kata Aryono.

Baca Juga :  MAHASISWA FTUI RAIH PENGHARGAAN TINGKAT NASIONAL DALAM RANCANG FONDASI RAFT PILE

Selanjutnya, Prof. Widjajalaksmi menyampaikan pidato berjudul “Neuroplastisitas, Neurorehabilitasi, dan Neuromatrix Optimalisasi Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Menyongsong Siklus Tujuh Abad Nusantara”. Dalam menyongsong siklus tujuh abad Nusantara, diperlukan peninjauan evolusi otak manusia dan menitikberatkan pada perkembangan manusia dan rotasi kehidupannya. Kemampuan manusia dalam beradaptasi berkaitan dengan evolusi biologis manusia termasuk evolusi otak manusia, diikuti oleh evolusi proses pikiran ( mind ) yang melahirkan banyak keilmuan.

Plastisitas, yaitu kemampuan otak untuk terus berubah sepanjang hidup dengan melakukan reorganisasi membentuk koneksi dan sinaps baru di antara sel-sel neuron, terus menerus sejalan dengan proses rehabilitasi (neurorehabilitasi). Widjajalaksmi memaparkan bahwa pada fenomena fantom, terjadi neuroplastisitas sentral pada kortikal somatosensori yang sifatnya stabil pasca amputasi anggota gerak.

Perubahan fenomena fantom dapat dipercepat bila penderita menggunakan prostesis fungsional secara aktif, bukan prostesis kosmetis. Penggunaan prostesis fungsional secara aktif dalam kehidupan sehari-hari meningkatkan feedback dari berbagai reseptor pada permukaan puntung, menimbulkan antaran impuls dari sensasi raba propioseptif, sehingga area somatosensori di sekitar area kortikal otak yang merepresentasikan bagian tubuh yang diamputasi (area denervasi) bereorganisasi dengan mengambil alih area denervasi tersebut.

“Pemanfaatan neuroplastisitas dengan integrasi keilmuan neurosains, neuroengineering, dan neurorehabilitasi serta kemajuan teknologi menjadi bagian penting di masa depan,” katanya.

Prof. Toar menyampaikan pidato berjudul “Menyasar Academic Surgeon dalam mengembalikan marwah pendidikan dan pelatihan bedah di Indonesia”. Toar memaparkan academic surgeon adalah spesialis bedah yang bertindak dan berperilaku akademik, meski tidak bekerja di lingkungan akademi. Ada empat karakteristiknya, yakni Patient care yang berdampak pada perbaikan kualitas hidup; Hasil riset terpublikasi yang berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan; Aktif dalam pendidikan-pelatihan yang berdampak pada keterampilan; dan Mentorship yang berdampak timbulnya inspirasi dan pengembangan inovasi.

“Dengan demikian para lulusannya dapat berkarya dan mengelola kasus bedah dengan adekuat di tempat bekerja melalui langkah–langkah sistematis, kritis, serta berbasis bukti lokal, sebagaimana pendekatan suatu metodologi penelitian di manapun ditempatkan walaupun di luar institusi pendidikan. Ini berdampak pada pelayanan kesehatan unggulan yang paripurna, sehingga Indonesia menjadi Pusat Rujukan regional dan Pusat Riset Kedokteran,” ujar Toar.

Baca Juga :  Pendidikan Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045

Prof. Ratnawati pada pengukuhannya menyampaikan pidato berjudul “Ketahanan Paru Pada Penyakit Paru Obstruktif: Optimalisasi Fungsi Paru dan Kualitas Hidup Pada Penyakit Paru Obstruktif di Era Pandemi COVID-19”. Penyakit gangguan obstruksi saluran nafas, asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan umum di masyarakat. Masih banyak faktor yang memengaruhi perkembangan penyakit obstruksi yang belum bisa teratasi dengan baik seperti merokok dan polusi udara.

“Pencegahan agar penderita penyakit obstruksi kronik tidak mudah terinfeksi COVID-19 harus diupayakan, oleh penderita, tenaga kesehatan, masyarakat, dan pengambil keputusan. Untuk meningkatan ketahanan paru di era pandemi COVID-19, edukasi dan sosialisasi tata cara hidup sehat, pengobatan secara rutin dan teratur dan upaya pemberian vaksinasi SARS-CoV-2, harus diberikan kepada penyandang penyakit paru obstruktif,” katanya.

Sidang terbuka kemarin dihadiri oleh Ketua Dewan Guru Besar (DGB) Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, PhD, beserta sekretaris dan anggota guru besar UI lainnya, Ketua Senat Akademik (SA) Prof. Nachrowi Djalal Nachrowi, MSc., MPHil., Ph.D, dan sekretaris, Sekretaris Universitas, para Wakil Rektor, dan pimpinan fakultas/unit lainnya, Wakil Presiden RI periode 2009-2014 Prof. Dr. H. Boediono B.Sc., M.Ec., perwakilan guru besar tamu dari Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, serta para tamu undangan.

Pada sesi pertama pengukuhan ini, telah dikukuhkan empat profesor, yaitu Prof. Dr. dr. Zulkifli Amin, Sp.PD., KPMK sebagai GB Tetap FK UI dengan kepakaran bidang ilmu penyakit dalam, Prof. Dr. dr. Neng Tine Kartinah, M.Kes. sebagai GB dalam bidang ilmu fisiologi kedokteran, Prof. Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) sebagai GB Tetap dalam bidang ilmu kesehatan anak, dan Prof. Dr. dr. Najib Advani, Sp.A(K), M.Med(Paed) sebagai GB dalam bidang ilmu kesehatan anak.

Dra. Amelita Lusia, M.Si. CPR

Kepala Biro Humas dan KIP UI

Media contact: Mariana Sumanti, S.Hum

(Media Relations UI, humas@ui.ac.id ; 08151500-0002)