close

Ekonom IPB University: Desentralisasi Fiskal Bisa Sejahterakan Masyarakat

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University Prof Bambang Juanda menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Desentralisasi Fiskal: Kemandirian Daerah dan Ultimate Goal Otonomi Daerah. Diskusi yang menghadirkan para pakar ini diselenggarakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 24/3.

Dalam paparannya, Prof Bambang Juanda mengatakan, pelaksanaan desentralisasi fiskal cukup mampu mendukung kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan kesejahteraan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan memberikan penuh otonom daerah untuk mengatur fiskalnya, baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan, minimal sepertiga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu masuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk dikelola dan sepertiganya lagi belanja pusat di daerah. Jadi, sudah dua per tiga belanja APBN ini di daerah. Sebenarnya, maju tidaknya ekonomi nasional tergantung perekonomian di daerah,” kata Prof Bambang.

Otonomi daerah memiliki peran alokasi ekonomi kebijakan desentralisasi fiskal. Hal itu terdapat dalam tiga peran pemerintah, yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi. Menurut Prof Bambang, otonomi daerah ini di peran alokasi, karena daerah lebih mengetahui dibandingkan pusat.

“Meskipun perkembangan IPM ini cukup baik dan ketimpangan antar pemerintah daerah menurun namun ketimpangan antar individu belum membaik. Sebab, ini tergantung pada daerah dalam mengelola keuangan,” bebernya.

Bicara soal konsep APBN berkualitas bukan hanya mengoptimalkan pendapatan, tetapi bagaimana belanjanya dapat dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan nasional yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan, dan akuntabel.

Baca Juga :  ITS Resmikan Ruang Kolaborasi untuk Kemajuan Kemaritiman

“Pemerintah dalam melaksanakan APBN tahun anggaran 2020 mengupayakan pemenuhan sasaran pembangunan yang berkualitas, yaitu dalam bentuk penurunan kemiskinan menjadi 8,5 persen hingga 9,0 persen. Dan tingkat pengangguran terbuka menjadi sebesar 4,8 persen hingga 5,0 persen. Selain itu, penurunan gini ratio menjadi sebesar 0,375 hingga 0,380 dan peningkatan IPM mencapai 72,51,” jelasnya.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal relatif mampu memberikan keleluasaan pemerintah daerah. Namun, kata dia, untuk mencapai pembangunan berkualitas, ini belum optimal. Sebab, banyak daerah-daerah yang masih dominan di belanja pegawai. Bahkan, ada daerah besaran belanja pegswainya mencapai 60 hingga 70 persen. Menurut dia, mestinya ini perlu diatur.

“Penyebab lainnya yaitu ketidakefisienan pengeloaan keuangan daerah terutama di luar Jawa dan Bali serta penyerapan anggaran yang rendah dan tidak optimal, terutama belanja modal,” lanjut Prof Bambang.

Ia berpandangan, seharusnya dengan diberikannya keleluasaan dalam pengeloalan keuangan, pemerintah  daerah mampu mendukung kemandirian fiskal daerah. Namun, belanja daerah ini kurang berkualitas dan kurang optimal dalam mendukung peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkelanjutan.

“Harusnya yang basic seperti infrastruktur dasar diprioritaskan di awal. Termasuk modal manusia juga perlu dipertimbangan untuk menghasilkan PAD yang meningkat terus. Meskipun PAD meningkat, tetapi rasio atau porsinya terhadap penerimaan itu masih rendah, jadi kemandiriannya itu masih rendah. Akibatnya pemda selalu hampir setiap tahun menuntut transfer lebih besar lagi dari pusat, sehingga kemandiriannya rendah atau terjadi fenomena flypaper effect,” ungkap dia.

Baca Juga :  Dirjen Dikti: Tri Dharma Perguruan Tinggi Tidak Berhenti Meski Pandemi Covid-19

Dari beberapa studi terkait penyebab indeks kemandirian fiskal di beberapa daerah, terungkap bahwa daerah belum mampu mengidentifikasi potensi sumber pendapatannya. Daerah belum bisa mengoptimalkan penerimaan pajak dan retribusi daerah atau bahkan penerimaan hasil kekayaan daerah yang dipisahkan.

“Kesiapan sumber daya manusia (SDM) juga masih rendah, baik kuantitas maupun kualitas. Kemudian, lemahnya pengawasan atas pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, termasuk badan usaha milik daerah (BUMD) pun masih rendah. Ada beberapa BUMD yang diharapkan menjadi profit center, tapi justru untuk membayar kerugian BUMD,” tuturnya.

Menurut Dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB University ini, faktor penghambat kemandirian fiskal yaitu belanja daerah masih terpengaruh oleh dinamika politik sehingga tidak optimal dalam pencapaian sasaran pembangunan berkualitas yang mendukung peningkatan PAD berkelanjutan. Hal ini menjadi perlu untuk belanja daerah yang berkualitas supaya kemandirian fiskalnya meningkat.

“Kemudian belanja juga harus berbasis kinerja. Perlu menerapkan multi-term expenditure framework (MTEF) dan belanja berkualitas. Perlu peningkatan kualitas SDM dan kesiapan daerah dalam ekonomi digital, yaitu mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti e-commerce, tele-edukasi, dan otomatisasi. Nantinya kebijakan fiskal ini inklusif dan berkelanjutan di daerah atau wilayah pedesaan yang terintegrasi dari provinsi ke kabupaten/kota dan dari kabupaten kota ke desa,” pungkasnya.